Isu beneficial ownership erat kaitannya dengan kasus korupsi dan korporasi. Kejahatan korporasi(corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi (Kusrini&Imam, 2018:53) dalam perspektif penegakan hukum, informasi beneficial ownership diharapkan menjadi sarana bagi penegak hukum dalam melacak dan mengungkap kasus korupsi dan pencucian uang secara lebih efektif. Korupsi merupakan jenis tindak pidana yang cenderung meningkat dan sangat sulit dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain dan sangat mengakar.
Beneficial ownership atau kepemilikan manfaat adalah istilah dalam dunia hukum yang merujuk kepada siapa pihak yang menikmati manfaat atas kepemilikan aset tertentu tanpa tercatat sebagai pemilik. Secara yuridis kriteria pemilik manfaat (beneficial ownership) disebutkan dalam Perpres No. 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, yang menyebutkan Orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.
Penerapan pertanggungjawaban pidana beneficial ownership dapat dilakukan dengan teori identifikasi, dalam hal ini pembebanan pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus/ pemimpin korporasi(Andri, 2016:155). Teori Identifikasi memerlukan adanya “directing mind” dari korporasi, dimana directing mind ada pada pengurus korporasi yang mempunyai hubungan kerja atau hubungan lain berdasarkan AD/ART atau tujuan korporasi itu didirikan. Dengan demikian, dalam proses peradilan pidana tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban pidana korporasi sudah sepatutnya dibebankan kepada pihak yang mewakili dan bertindak untuk atas nama korporasi, yang dijadikan subjek hukum. Perbuatan dan mens rea pengurus korporasi merupakan mens rea korporasi(Puteri,2017:143)
Minimnya peraturan yang mengatur pertanggungjawaban beneficial ownership ini menyulitkan penegak hukum dalam membuktikan adanya tanggungjawab pelaku (beneficial ownership) dalam tindak pidana korupsi, sebagai contoh kasus Budisutrisno Kotjo dengan Putusan No. 4/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI, pada kasus tersebut Budisutrisno dikenakan Dakwaan Suap oleh Penuntut Umum, namun berdasarkan fakta hukum sangat memungkinkan mengenakan korporasi.
0 Komentar