sumber gambar : ayosemarang.com |
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Jeremy 2003:177) Belakangan ini revisi undang-undang KPK menimbulkan banyak demonstrasi di beberapa daerah di Indonesia, hal ini dilatarbelakangi isu yang mengatakan bahwa revisi UU KPK melemahkan KPK dan menghapus sifat independensi KPK, kelembagaan KPK saat ini telah menjadi ikon dalam setiap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, bahkan KPK dipandang sebagai lembaga superbody. Hal ini karena (lihat UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi) Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4 UU KPK). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalankan tugasnya yaitu kepentingan umum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas (Pasal 5 UU KPK). Terakhir, kewenangan KPK yang melebihi dari penegak hukum lainnya (Pasal 6 UU KPK) (Trias palupi 2019: 7). Lembaga superbody maksudnya adalah Lembaga yang seolah memiliki kekuasaan yang sangat besar sampai mampu menentukan segala sesuatunya sendiri, sementara dalam sistem peradilan pidana tetap harus melihat sub sistem yang lainnya, seperti Lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan, sehingga sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana KPK harus mampu berkordinasi dengan sub sistem lainnya.
Komentar terhadap Revisi UU KPK.
Ada empat substansi krusial dalam revisi UU KPK: Pertama, Status Kelembagaan KPK. Di dalam revisi ini, KPK masuk ke dalam ranah kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Penegasan status kelembagaan dalam revisi UU KPK memberikan kepastian hukum dan sejalan dengan dengan visi dan misi dibentuknya KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, akan dibahas pada pembahasan berikutnya. Kedua, Penghentian Penyidikan Dan Penuntutan. Pemberian wewenang bagi KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi. Penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila proses penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Aturan baru ini melegitimasi KPK untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) sama seperti Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan, kewenangan ini memberi kepastian hukum bagi para tersangka kasus korupsi yang selama ini sering tidak jelas arah kasusnya, seperti rekening yang terblokir, aset yang disita, di tahan dan sebagainya yang intinya kasus korupsi tertahan tidak jelas kelanjutannya. Ketiga, Kewenangan Penyadapan. Berdaarkan Pasal 12 ayat (1) dalam menjalankan tugasnya KPK berwenang melakukan penyadapan. Pengaturan penyadapan dalam UU KPK yang baru sebagai salah bentuk penguatan KPK, dimana kewenangan kewenangan ini masih ada, namun menjadi kontra ketika penyadapan ini harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas, sebagaimana dalam Pasal 12B ayat (1), Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis paling lama 1x24 jam terhitung sejak permintaan diajukan. Permintaan secara tertulis ini berasal dari pimpinan KPK (Pasal 12B ayat (2) dan ayat (3)). Aturan baru ini mengubah Pasal 12 huruf a UU KPK, di mana KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Pasal 12 UU KPK perubahan ini dipandang sebagai perlindungan HAM terhadap para tersangka sebagaimana revisi pada Pasal 5 asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dengan menambah huruf f yaitu penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, walaupun ini masih pro dan kontra sebab izin yang dibutuhkan untuk menyadap dinilai dapat menjadi cela bagi calon tersangka untuk menghindari proses penyelidikan dan penyidikan KPK. Keempat, Status Pegawai KPK menjadi ASN, Berdasarkan Pasal 1 angka 6 menyebutkan Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana dimksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN. Mendudukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan, maka secara tidak langsung KPK juga harus tunduk pada UU 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara ( UU ASN), langkah ini merupakan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Salah satu bagian revisi yang menjadi sorotan dan munculnya pernyataan hilangnya independensi KPK adalah Pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan : Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.
Namun ditegaskan kembali dalam pasal 3 yang intinya menyebutkan KPK dalam rumpun eksekutif melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dalam bagian penjelasan umum, menjelaskan bahwa penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017. Dimana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif. KPK termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang disebut juga Lembaga pemerintah, hal ini dimaksudkan agar kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintah (Executive Power).
Lembaga Penunjang
Apabila kita melihat pendapat Mahkamah Konstitusi pada Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017, Dikatakan bahwa dalam perspektif hukum tata negara modern, ada Lembaga negara yang dibentuk tetapi tidak termasuk salah satu cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Lembaga-lembaga tersebut ialah Lembaga penunjang , dan Lembaga penunjang tersebut dibentuk tetap berdasarkan pada fungsi Lembaga negara utama yakni menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dan tujuan pembentukan Lembaga penunjang itu adalah jelas yaitu dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggungjawaban Lembaga-lembaga utama tersebut. Adapun Lembaga-lembaga penunjang tersebut diantaranya : Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KPK, KPI, OJK, dan lain-lain.
Kemudian Mahkamah berpendapat, lembaga penunjang tersebut ada yang menjalankan tugas dan kewenangan di ranah eksekutif akan tetapi dinyatakan sebagai lembaga independen dan tidak berada dibawah kontrol eksekutif (presiden), cara melihat posisi KPK dalam sistem kenegaraan Indonesia adalah dengan melihat pada Konsiderans menimbang huruf b UU No. 30 tahun 2002, : bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berpijak dari konsiderans tersebut Mahkamah berpendapat yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah kepolisian dan kejaksaan, hal ini dapat diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah belum optimalnya tugas dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan Korupsi, sehingga dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dibentuklah KPK (dasar hukumnya TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan TAP MPR No. VII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam konstruksi demikian, tugas dan fungsi Kepolisian, Kejaksaan dan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif. Hal ini diperkuat dengan melihat pada Pasal 6 tugas utama KPK yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,dalam hal ini menjadi trigger mechanism bagi kepolisian dan kejaksaan.
Pada intinya mahkamah berpendapat KPK merupakan lembaga negara yang dalam tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak Independen, sebagaimana dalam Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, Independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan revisi undang-undang KPK bukan membuat KPK tidak lagi independen namun memperkuat statusnya dalam ketatanegaraan Indonesia bahwa posisi KPK tersebut adalah pada ranah Eksekutif, dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak ada campur tangan oleh pihak manapun, sehingga dapat pula dinyatakan revisi UU KPK sebagai bentuk rekonstruksi politik hukum yang memperkuat Independensi KPK.
Sumber :
Palupi Kurnianingrum, Trias. 2019. Revisi UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi : Melemahkan Kinerja KPK?, Info Singkat, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol XI, No. 18.
Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsai Elemen Sistem Integritas nasional, Transparency International Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017
0 Komentar